Kompleksitas Politik Islam

    Definisi politik Islam menurut Dale Eickelman dan James Pisctori adalah politik yang diwarnai oleh kompetisi dan tawar-menawar (bargaining) melalui interpretasi serta pemaknaan atas doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan demi mendukung klaim politik mereka masing-masing. Kontestasi tersebut melibatkan berbagai pemeran, mulai dari aktivis Islamis berpendidikan tradisional dan Barat hingga para pejabat pemerintah yang memainkan berbagai jurus keagamaan dalam menjalankan tugas mereka. Para pemeran tersebut berada dalam pusaran inti persaingan arena politik yang digambarkan seperti pasar (marketplace).

    Kompleksitas politik Islam dicerminkan oleh persepsi/pandangan ulama mengenai negara-bangsa yang berkaitan erat dengan dinamika politik Islam, seperti mendukung atau menolak bentuk negara-bangsa. Faktanya, tidak banyak ulama yang menerima negara-bangsa secara progresif sehingga menunjukkan adanya tantangan bagi ulama untuk tidak hanya menjaga relevansi mereka dalam konteks kehidupan negara-bangsa, namun juga memahami dan mengimplementasikan posisi mereka dalam kehidupan modern. Demikian halnya fakta bahwa hanya sedikit ulama yang benar-benar menolak negara-bangsa menunjukkan keinginan mayoritas mereka untuk tetap berada dalam kerangka negara-bangsa walaupun banyak yang semakin ragu dengan relevansi diri mereka dalam dinamika kehidupan negara-bangsa yang berubah dengan cepat.

    Kontestasi tersebut terdapat di dinamika diskursif MUI yang mengalami hubungan pasang-surut dengan negara, salah satunya dalam Ijtima’ Ulama atau Pertemuan Ulama yang diselenggarakan pada tanggal 8–10 Mei 2018 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan lembaga fatwa organisasi-organisasi Islam, perwakilan Komisi Fatwa se-Indonesia, dan sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Terdapat salah satu komisi yang menarik pada acara ini, yaitu komisi masāʾil asāāsiyyah wathaniyyah atau masalah kebangsaan karena komisi tersebut menggarap keputusan atau rekomendasi yang berkaitan dengan masalah-masalah kebangsaan dalam bentuk draft. Akan tetapi, pada saat pembacaan poin-poin penting dari draft tersebut, muncul berbagai pandangan yang berbeda dari para peserta. Di antara mereka, ada peserta yang mencurigai bahwa terdapat kepentingan kekuasaan dalam draft tersebut. Hal-hal yang direfleksikan dari diskusi di forum tersebut adalah dominasi mayoritas atas nama demokrasi, upaya penguatan politik identitas, pengabsahan penggunaan masjid dan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik, serta legitimasi pada ketidakterpisahan Islam dari politik. Pada akhirnya, komisi memutuskan hasil akhir yang nampaknya merupakan sintesis dari draft awal dengan hasil musyawarah. Keputusan-keputusan Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia atau MUI tersebut merefleksikan penguatan reservasi terhadapnya yang menyertai perkembangan politik identitas.

    Selain persepsi atau pandangan ulama mengenai negara-bangsa, kesan paradoksal di berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia saat ini juga mencerminkan dinamika atau kompleksitas politik Islam yang ada. Perkembangan demokrasi Indonesia yang menuntun kebebasan di masyarakat seperti kebebasan berpendapat atau berekspresi, kebebasan pers, dan asas “bebas” pada penyelenggaraan pemilu malah menimbulkan peningkatan intoleransi terhadap perbedaan yang ada. Pernyataan identitas keagamaan secara terbuka yang menimbulkan perbedaan semakin banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, hal tersebut menyebabkan terbukanya ruang publik baru yang sejalan dengan gaya hidup Islami dan tuntutan keagamaan dengan mengonsumsi simbol-simbol Islam. Ruang politik juga mengalami perkembangan yang membuatnya semakin terbuka dan memberi kesempatan bagi para elit politik olirgakik untuk memainkan berbagai macam jurus dalam rangka mendominasi kekuasaan politik.

    Ekspansi sistem negara-bangsa telah menyingkirkan privilege ulama yang menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan penguasa patrimonial. Pada sistem negara bangsa, ulama tidak lagi dijadikan sebagai legitimasi dan sumber pengetahuan yang utama. Hal tersebut sangat berbeda dengan sistem kekhalifahan yang menetapkan posisi ulama sebagai ahlu ‘l-ḥall wa ‘l-ʿaqd, yaitu orang yang berperan sangat penting dalam jalannya pemerintahan. Perkembangan negara-bangsa terjadi seiring dengan berkembangnya sekularisasi dalam konteks perubahan organisasi sosial.

    Negara-bangsa mengubah tatanan masyarakat dari yang semula merupakan sistem komunal menjadi sistem kemasyarakatan atau societal system, hal tersebut memunculkan penilaian bahwa negara-bangsa adalah pembawa kehancuran bagi sistem komunal. Societal system yang merupakan sistem baru memiliki jaringan yang ekstensif atau sangat luas sehingga tatanan kehidupan lokal berubah. Masyarakatnya diikat oleh kontrak sosial dengan prinsip kewargaan atau citizenship yang mengingatkan diri mereka tentang negara-bangsa, kedudukan mereka di hadapan negara adalah warga negara-bangsa dengan kewajiban dan hak yang sama. Pemerintahnya berperan sebagai pengawal kontrak sosial tersebut dan dipilih melalui pemilihan umum yang melibatkan seluruh masyarakat. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap masyarakat atau warganya selama menjalankan kekuasaannya yang bersifat terbatas dalam konteks waktu dan jenisnya.

    Berbagai perubahan besar telah terjadi di abad ke-21, tetapi ulama dinilai lamban dalam merespons perubahan-perubahan tersebut. Salah satu contohnya adalah perubahan kriteria kekuasaan yang dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di masa modern, bukan lagi hanya dilihat dari bidang politik saja. Pada umumnya, ulama hanya tetap berada dalam persepsi dunia politik klasik yang akhirnya menimbulkan pandangan eksklusif terhadap hal-hal atau pembaruan-pembaruan yang terjadi di era modern, seperti globalisasi dan modernisasi. Mereka menganggap hal-hal tersebut sebagai “konspirasi”, “ketidakadilan”, dan “penderitaan” yang terjadi di mana-mana. Padahal, terdapat banyak kesempatan dan peluang baru yang muncul dari globalisasi, modernisasi, dan hal-hal baru lainnya yang terjadi di masa modern ini. Bersamaan dengan keinginan mempertahankan identitas dan privilege tradisional, kecurigaan sebagian ulama terhadap negara-bangsa akhirnya tidak bisa dihindari. Negara-bangsa yang hadir menyertai modernisasi dan globalisasi mengembangkan konsep kewargaan. Namun, konsep ini masih sangat asing dalam pandangan dunia politik ulama. Kewargaan mensyaratkan penerimaan terhadap prinsip kesetaraan, persamaan dan HAM, hal yang turut merongrong otoritas dan privilege tradisional kaum ulama.


Oleh: Lathifatunnisa - 20106030044 - Kimia B

Mata Kuliah: Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

Dosen Pengampu: Dr. Nina Mariani Noor, S.S., M.A.


#islamsosialhumaniora #saintekuinsuka #kimiasaintekuinsuka #uinsuka #moderasiberagama #indonesia


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, N., Suhadi, Kailani, N., Ikhwan, M., Rafiq, A., Nurlaelawati, E., Latipah, E., Burdah, I., Ichwan, M. N., Yunus, M., Muhrisun, Noor, N. M., Ro’fah, Ulinnuha, R., Sunarwoto, Suseno, M. N. 2019. ULAMA DAN NEGARA-BANGSA: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi, dan Perdamaian (PusPIDeP)

Comments

Post a Comment